Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia masih tinggi. Kasus KDRT bahkan menjadi pengaduan kekerasan yang paling banyak diterima oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Sampai 17 Oktober 2018, ada sebanyak 5.850 pengaduan kasus KDRT di 2018 yang terdata pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) (Oktober, 2018).
BACA JUGA : Kebanyakan dari Jomblo Tak Betah dengan Status, Tapi Sulit untuk Bergerak untuk Merubah Statusnya Tersebut
Kasus kekerasan paling banyak terjadi pada perempuan. Mata rantai kasus ini harus diputus dengan melibatkan generasi muda.
"Kami harapkan bisa muncul satu generasi yang bisa memutus mata rantai KDRT," ungkap Menteri Kemen-PPPA Yohana Yembise saat berkunjung ke acara sosialisasi pencegahan KDRT di Manokwari, Rabu (17/10/2018).
KDRT dapat menimbulkan sejumlah dampak buruk. Salah satunya adalah menimbulkan trauma pada anak. Menurut Yohana, perselisihan antara suami dan istri seharusnya tak dilakukan di depan anak.
BACA JUGA : Kebanyakan dari Jomblo Tak Betah dengan Status, Tapi Sulit untuk Bergerak untuk Merubah Statusnya Tersebut
"Anak bisa trauma bahkan meniru jika kelak dewasa. Kami yakin kekerasan dalam rumah tangga dapat diminimalisasi dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk tidak bersikap acuh dengan lingkungan terdekatnya,” tuturnya.
Anak yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami KDRT cenderung akan meniru ketika dewasa.
Begitu juga anak perempuan yang melihat ibunya dipukul ayahnya dan ibunya diam saja, tidak melapor atau melawan, pada saat berumah tangga kemungkinan dia akan cenderung berbuat serupa. Akibatnya mata rantainya sulit diputus.
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.