LSPR Jakarta Menyediakan Pendidikan Tinggi Bagi Anak Autis
"Anak-anak penyandang autisme menghadapi tantangan dalam berkomunikasi dengan orang lain. LSPR berusaha untuk menawarkan kesempatan kepada anak-anak autis untuk melanjutkan pendidikan dan memperoleh gelar akademik dengan menanamkan pengetahuan yang dapat berguna bagi orang lain," Pendiri dan Direktur LSPR Jakarta Prita Kemal Gani memberi tahu wartawan di sini pada Jumat (19 Oktober).
Gani menjelaskan bahwa anak-anak dengan autisme, yang belajar di LSPR, mengambil kelas khusus. Pada waktu-waktu tertentu, mereka akan bergabung dengan kelas reguler untuk bertemu dan berinteraksi dengan siswa lain.
"Ini adalah program` sistem buddy`. Tujuannya adalah agar anak-anak dengan autisme dapat berteman, sedangkan untuk siswa lain, mereka akan memiliki empati bagi mereka dengan kebutuhan khusus, "Gani menjelaskan, menambahkan bahwa dengan metode seperti itu, LSPR telah lulus beberapa siswa autis, yang mampu bekerja sesuai dengan bakat dan minat mereka.
Dia menekankan bahwa anak-anak dengan autisme sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan anak-anak lain, seperti di bidang olahraga, seni, dan teknologi. "Jika anak-anak kita dididik, mereka bisa belajar dan bekerja dan itu bisa membuat mereka merasa berguna," kata Gani.
Namun, mendidik anak-anak autis masih menjadi tantangan di Indonesia, mengingat jumlah terapi dan guru dengan latar belakang pendidikan untuk menangani orang dengan kebutuhan khusus masih sangat terbatas.
Gani mengatakan bahwa LSPR juga menyelenggarakan program orangtua kandung yang menyatukan orang tua dengan anak-anak autis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka. Selain itu, LSPR menyelenggarakan pelatihan bagi para guru, yang secara khusus mengajarkan anak-anak dengan kebutuhan khusus.
"Sejauh ini, ada tiga ribu sekolah yang berpartisipasi dalam program ini," katanya. Pada kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Autisme Indonesia Dr Melly Budhiman menjelaskan bahwa autisme di Indonesia tidak menjadi perhatian sampai tahun 1997.
"Pada tahun 80-an, saya menangani anak-anak autis tetapi hanya sekitar tiga kasus per tahun. Pada saat itu, orang tua mengeluh bahwa anak-anak mereka diganggu di sekolah, dan mereka juga dikecualikan oleh keluarga dan orang lain, karena mereka memiliki anak autis," Dr Budhiman, yang juga seorang psikiater anak, menjelaskan.
Dia mencatat bahwa pada tahun 1997, ketika autisme telah mendapat perhatian oleh masyarakat, beberapa orang tua dan dokter mendirikan YAI, salah satu tujuannya adalah untuk mendidik orang-orang tentang autisme.
Meskipun anak-anak dengan autisme menghadapi kesulitan dalam berkomunikasi, mereka dapat pulih dari gangguan dan hidup seperti orang lain. Bahkan, beberapa anak autis mampu menyelesaikan pendidikan tinggi dengan jurusan, termasuk di bidang pendidikan, arkeologi, teknik mesin, dan bahkan menjadi dokter medis, tambah Dr Budhiman.
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.