JURU bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Gamal Abinsaid, baru-baru ini menyatakan bahwa banyaknya anak muda menjomblo disebabkan oleh himpitan ekonomi.
Para millennial, menurut Gamal, menghadapi situasi di mana pekerjaan kian sulit diperoleh. Situasi ekonomi ini menyebabkan mereka melajang. Pembicaraan tentang jomblo memang mengemukan beberapa tahun belakangan.
Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, menjadikan topik ini menjadi salah satu tema kampanye media sosialnya, terutama Instagram. Semasa menjabat sebagai Wali Kota Bandung, ia bahkan membangun sebuah playground dengan nama Taman Jomblo.
Namun benarkah fenomena ini disebabkan oleh himpitan ekonomi? Di sejumlah daerah memang sering terdengar kabar tentang bagaimana sepasang kekasih gagal ke pelaminan karena mahar yang tak terjangkau. Sering pula muncul cerita cinta yang terpaksa kandas karena terhalang status sosial.
Masuk akal. Cinta yang retak atau kandas sebelum berlabuh sudah ada dan akan selalu ada di setiap masa. Di masa lalu ada Siti Nurbaya atau Romeo and Juliet. Sebagian kandas karena himpitan ekonomi.
Namun tidak sedikit anak muda yang melajang kendati sudah mapan. Lantas, apa yang membuat mereka memilih untuk tetap sendiri? Ternyata, ada fenomena yang belakangan marak terjadi di kalangan anak muda; we fall in love with people we can't have.
Kami jatuh cinta dengan orang yang tak bisa kami miliki. Alasan di balik cinta yang tak bisa bersatu macam-macam.
Entah karena si dia sudah bersama orang lain, perbedaan keyakinan, hingga sesederhana perasaan yang tak berbalas saja. Sekilas, tindakan falling in live with people we can't have ini terlihat menyedihkan. Desperate.
"Aelah, kayak gak ada orang lain aja buat dicintai," adalah sekelumit komentar yang sering terdengar. Dari miliaran orang di dunia ini, mengapa mencintai dia yang tak terjangkau?
Sebagai anak muda yang pernah fall in love with people I can't have, izinkan saya mewakili perasaan jutaan anak muda Indonesia lainnya. Izinkan saya menjelaskan mengapa kami memilih jalan terjal dan berbatu ini.
Tentu ada banyak penjelasan tentang mengapa kami, anak-anak muda, memilih melajang. Namun jika, seperti kata Gamal, hal ini terjadi karena himpitan ekonomi, nampaknya bukan.
Chatib Basri, dalam tulisannya di "Bisnis Indonesia", Yang Muda, Yang Menganggur, memaparkan data tentang pengangguran di kalangan milenial yang berkurang dari tahun ke tahun.
Mengikuti tren penurunan pengangguran terbuka, di kalangan muda (15-24 tahun), angka pengangguran juga menurun, dari 22 persen tahun 2014 menjadi 20 persen pada tahun 2018.
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.